Rabu, 01 Februari 2017

Review Resident Evil: The Final Chapter – Lebih Baik Main Gamenya Saja



Resident Evil The Final Chapter

Perjuangan Alice untuk menumpas Umbrella Corporation akhirnya selesai di Resident Evil: The Final Chapter.


Kita tahu bahwa franchise film Resident Evil tak begitu se-“mewah” franchise gamenya. Mempertimbangkan hal itu, ekspektasi saya pun tak begitu tinggi ketika akan menonton Resident Evil: The Final Chapter.
Walaupun begitu, film ini berjanji untuk menghadirkan akhir dari kisah Alice dalam membasmi wabah zombi di muka bumi, dan lebih penting lagi, memusnahkan Umbrella Corp yang menjadi penyebab utamanya. Sebagai film terakhir, tentunya kita menantikan aksi dan ending terbaik sebagai pemungkas seri ini.
Apakah Resident Evil: The Final Chapter menyajikannya? Mari kita simak ulasannya di sini!

Mengakhiri Wabah Zombie untuk Selamanya

review Resident Evil: The Final Chapter 1
Salah satu adegan penuh darah.
Plot utama dari Resident Evil: The Final Chapter adalah mencari antidote alias obat untuk membunuh T-Virus yang telah menyebar di seluruh dunia dan menjadikan sebagian besar manusia menjadi mayat hidup. Melalui sebuah sumber yang tak terduga, Alice harus kembali ke Raccoon City, tepatnya The Hive, tempat semuanya berawal untuk mengambil antidote tersebut.
Bersama para survivor di Raccoon City yang telah diluluhlantakkan oleh bom, Alice berjuang untuk masuk ke dalam The Hive yang berisi jebakan-jebakan mematikan. Ia ditunggu oleh Albert Wesker dan seorang aktor di balik Umbrella Corp yang telah “hidup” kembali.
Seorang tokoh lama juga kembali di iterasi terakhir Resident Evil ini, sebut saja namanya Claire Redfield (Ali Larter). Ialah yang mempertemukan, atau lebih tepatnya menyelamatkan, Alice dari para survivor di Raccoon City.

CGI Buruk Diselamatkan oleh Nuansa Gelap

review Resident Evil: The Final Chapter 1
Menjelang serangan di Raccoon City.
Kualitas CGI sebenarnya adalah salah satu aspek yang paling saya takutkan di film ini, apalagi setelah melihat adegan kapal tanker yang menyakitkan mata di film Resident Evil: Retribution. Adegan tersebut sukses membuat saya tidak melanjutkan menonton film tersebut.
Untungnya, kelemahan ini tak terlalu kentara di The Final Chapter. Pasalnya, banyak adegan terjadi di ruangan gelap sehingga kekurangan tersebut cukup tidak terlihat (kecuali oleh mata jeli rekan saya). Detail dari monster-monster yang muncul tertutup oleh nuansa gelap, ditambah dengan aksi yang cukup cepat, menutup kekurangan yang ada. Di adegan ruang terbuka sendiri, efek CGI dari monster yang ditampilkan tidak mengecewakan, mungkin tertolong oleh ekspektasi saya yang rendah.
Sayang, efek ledakan dan api di film ini masih terasa “murahan”. Antara api, lingkungan, dan para artis tidak begitu menyatu dengan baik sehingga kurang enak dipandang. Terutama ketika adegan perang melawan segerombolan zombie dan tank baja di Raccoon City. Api yang melahap gedung terasa kurang maksimal.

Aksi Alice yang Ciamik

review Resident Evil: The Final Chapter 1
Di balik layar adegan seru di atas tank.

Aksi Milla Jovovich yang keren cukup menjadi hiburan di tengah banyaknya kekurangan di film Resident Evil: The Final Chapter ini. Dari awal hingga akhir, penonton disajikan aksi laga nonstop dengan koreografi yang apik. Bahkan film dibuka dengan salah satu pertarungan terbaik di film tersebut, cukup membuat adrenalin saya terpompa sejak awal.
Sejak awal sebenarnya franchise film Resident Evil lebih menawarkan genre action ketimbang horor, terutama dari Resident Evil: Apocalypse di mana Alice mulai memiliki kekuatan spesial (yang hilang pada Retribution). Itulah yang terus ditonjolkan hingga film terakhirnya ini, adegan aksi yang seru.
Pertarungannya pun lebih “intim”, Alice lebih banyak bertarung jarak dekat dengan musuhnya. Adegan ketika Alice tertangkap di sebuah tank dan adegan pertarungan terakhir menyajikan aksi akrobat yang gereget. Jika kamu tidak mempermasalahkan plot cerita dan grafisnya, The Final Chapter akan menghibur kamu.

Ending yang Ajaib

review Resident Evil: The Final Chapter 1
Ini bukan cuplikan ending.
Ya, ajaib, tapi dengan konotasi yang tak baik. Saya tak ingin membeberkan spoiler di sini, tapi singkatnya ending yang disajikan menurut saya terlalu “mudah”. Sayang sekali dengan panjang enam film, ending dari film yang notabene menjadi film pemungkas ini tidak-epik-sama-sekali.
Dari awal flim memang tidak diterangkan bagaimana cara untuk menyebarkan antidote tersebut ke seluruh dunia, hal ini juga baru terbersit di pikiran saya di bagian akhir film.

0 komentar:

Posting Komentar